Sudah setengah jam berlalu sejak Wahyudi Anggoro Hadi
berdiri di hadapan puluhan peserta seminar, menerangkan lembar demi lembar
salindia di layar presentasi. Mengenakan kemeja batik berpadu celana panjang
cokelat gelap, lurah Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul itu tampak bersahaja.
Peci hitam di kepalanya ia biarkan miring ke belakang hingga keningnya yang
mulai berkerut itu semakin terlihat lebar. Sesekali ia membetulkan letak
kacamata tebal yang membingkai kedua bola matanya.
Pria kelahiran Bantul, 24 Juli 1979 yang nyentrik itu
memang sedang viral. Beberapa tahun belakangan ini selalu menjadi pusat
perhatian. Sering tampil di media massa dan menjadi pembicara kunci pada
acara-acara seminar nasional. Pagi itu, Selasa, (26/11/2019), Wahyudi pun
tengah menjadi narasumber pada seminar bertajuk “Peran Desa dalam Mengembalikan
Kedaulatan dan Kemandirian Desa” di Gedung N, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
(Pusdiklat) Pajak, Kemanggisan, Jakarta Barat. Suasana pagi itu begitu hening,
seolah peserta tak ingin melewatkan setiap kata yang disampaikan Wahyudi.
Seperti terkena sirep, puluhan pasang mata tampak khidmat mengikuti acara yang
dipandu langsung oleh Kepala Pusdiklat Pajak Hario Damar itu. Kalimat yang ia
sampaikan begitu padat, sistematis, dan berbobot.
“Ini kepala desa rasa bupati,” bisik salah seorang
peserta seminar kepada rekan peserta di sampingnya.
Wahyudi memang “hanya” seorang kepala desa. Namun,
kiprahnya membangun Panggungharjo layak diacungi jempol. Berkat sentuhan tangan
dinginnya, desa miskin di pinggiran Kota Yogyakarta yang dulunya nyaris tak
diperhitungkan itu kini menjelma desa mandiri dan sejahtera. Masyarakatnya
hidup berkecukupan.
“Bicara kemiskinan, Panggungharjo mencirikan karakter
masyarakat miskin kota. Masyarakat desa pertanian umumnya, bila miskin masih
memiliki tanah. Namun masyarakat Panggungharjo bila miskin homeless (tidak
punya rumah) dan landless (tidak punya tanah). Sebagian warga yang miskin itu
umumnya mengontrak, tidak punya rumah tinggal,” ujar Wahyudi mengisahkan
kondisi awal Panggungharjo.
Selain penduduknya rata-rata miskin, tata kelola
pemerintahan desa pun awalnya kurang transparan, birokrasi berbelit-belit
sehingga warga kehilangan kepercayaan kepada aparat pemerintah desa. Kondisi
itu membuat Wahyudi yang semula enggan menjadi bagian dari birokrasi terpanggil
untuk membuat perubahan. Dengan modal seadanya, ia pun nekat mencalonkan diri
menjadi kepala desa pada 2013 dan terpilih tanpa sepeser pun menghalalkan
politik uang. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa menjadi pejabat tak harus
dengan politik uang.
Singkat cerita, di bawah kepemimpinannya, Wahyudi
berhasil mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan, dan
setahap demi setahap berhasil memberdayakan potensi desa. Panggungharjo yang
dulunya miskin, saat ini menjadi desa sejahtera yang memiliki Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes) dengan omzet miliaran rupiah.
Panggungharjo juga menjadi desa yang memiliki tradisi
juara. Hampir setiap tahun desa itu kini memperoleh penghargaan dari
kementerian, lembaga atau organisasi yang ada di Indonesia. Salah satunya
dinobatkan oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai Desa Terbaik Tingkat Nasional
2014, mengalahkan 74.000 desa lain dari seluruh Indonesia. Panggungharjo juga
dijadikan model oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam upaya mewujudkan
lingkungan birokrasi pemerintahan desa yang bersih transparan dan bebas dari
Korupsi. Selain itu, Panggungharjo juga dikenal sebagai satu dari 157 desa
unicorn yang ada di Indonesia.
Masa depan dunia
Panggungharjo adalah satu dari 75 desa yang ada di
Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tahun 2018, jumlah penduduk desa ini sekitar 28
ribu jiwa. Namun, yang berdomisili di Panggungharjo sekitar 40 ribu jiwa karena
desa ini memiliki empat perguruan tinggi dan satu pesantren besar yang jumlah mahasiswa
dan santrinya kurang lebih 15 ribu jiwa. Desa dengan luas 560 hektare ini
berbatasan langsung dengan ibu kota provinsi dan merupakan kawasan strategis
ekonomi dan kawasan strategis perkotaan bagi Kota Yogyakarta. Karakteristik
warga desa Panggungharjo adalah masyarakat perkotaan. Artinya, sumber
pendapatan mereka bukan lagi hasil pertanian, melainkan dari sumber jasa dan
perdagangan.
Wahyudi mengatakan, desa adalah masa depan dunia.
Peran desa sangat menentukan arah kemandirian bangsa. Hal itu menurut Wahyudi
karena desa memiliki tiga komoditas strategis yang sangat mahal, yakni udara
bersih, pangan sehat, dan air bersih.
“Hampir 100 persen makanan yang dimakan masyarakat
kota sudah terpapar bahan kimia berbahaya—sayur lewat pestisida, telur lewat vaksin
antibiotik dan pakan. Motif perang nanti akan memperebutkan sumber udara
bersih, air bersih, dan pangan sehat,” ujar Wahyudi meyakinkan. “Saat ini
distribusi pangan Indonesia dikuasai tiga perusahaan multinasional besar. Desa
menjadi situs atau pertahanan terakhir untuk mencapai kemandirian,” imbuhnya.
Untuk mewujudkan visi kemandirian dan kesejahteraan
bagi Panggungharjo, Wahyudi memulainya dengan membangun pemerintahan yang
bersih, transparan, dan bertanggung jawab.
“Bersih adalah prasyarat. Artinya, pemerintah desa
akan berhasil menyejahterakan warganya bila pemerintahan dijalankan dengan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik, transparan, partisipatif, akuntabel dan
sebagainya,” tutur alumnus Universitas Gadjah Mada jurusan Farmasi ini.
Begitu menjabat kepala desa, Wahyudi langsung membuat
skala prioritas pembangunan. Pada enam tahun pertama berusaha mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik agar pemerintah dapat mendukung kesinambungan
upaya memandirikan dan menyejahterakan masyarakat. Hampir 40 persen anggaran
desa diprioritaskan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik.
Tahun 2013 diletakkanlah dasar-dasar reformasi
birokrasi dengan jalan membangun pola hubungan yang baru antara pemerintah desa
dan masyarakat desa. Kemudian melakukan penyesuaian tata kelembagaan desa, dan
membangun kultur birokrasi aparat pemerintahan desa yang baru.
Untuk mewujudkan akuntabilitas desa, sejalan dengan
berlakunya Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam proses
pengelolaan anggaran yang bersumber dari pemerintah desa, Wahyudi mengirimkan
surat ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar diberikan
asistensi pelaksanaan UU itu. Kala itu, Panggungharjo menjadi satu-satunya desa
yang berani mengundang auditor negara dalam upaya membangun akuntabilitas.
Bentang hidup
Wahyudi menyebut, untuk membuat masyarakat bisa
mandiri dan sejahtera harus dengan cara-cara yang demokratis dan mengedepankan
aspek keberlanjutan secara lingkungan. Lingkungan tidak hanya diartikan sebatas
lingkungan alam (bentang alam), tetapi juga bentang hidup yang meliputi
lingkungan sosial, ekonomi, perkembangan budaya yang ada di desa juga
perkembangan teknologi yang ada.
“Kami tidak punya lanskap alam yang baik, sehingga
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa, yang kami manfaatkan adalah lanskap
bentang hidup. Seperti kita tahu, di samping bentang alam, desa juga punya
bentang hidup,” kata Wahyudi.
Salah satu bentang hidup yang dimanfaatkan adalah
pengelolaan sampah yang dilakukan Panggungharjo sejak tahun 2013. Wahyudi
menyebut, masyarakat Panggungharjo setiap harinya memproduksi 56 meter kubik
sampah. Bila sampah hanya dikumpulkan dari rumah-rumah lalu dikirim ke TPA maka
akan memakan biaya pengelolaannya sangat besar. Karenanya, sampah itu dikelola
melalui BUMDes.
Sampah yang memiliki nilai jual seperti plastik
dipilah untuk dijual kembali. Sementara sampah yang dapat dimanfaatkan, diolah
agar memiliki nilai jual. Salah satunya adalah pengembangan limbah penggorengan
atau minyak jelantah yang diolah menjadi bahan bakar alternatif pengganti solar
untuk mesin industri, atau Refined Used Cooking Oil (R-UCO). Berkat inovasi
itu, saat ini Panggungharjo merupakan satu-satu desa yang dapat mengubah minyak
goreng bekas menjadi bahan bakar pengganti solar. Dari pemanfaatan sampah rumah
tangga dan limbah itu, tahun 2018 pendapatan BUMDes mencapai Rp 60 juta hingga
Rp 80 juta per bulan.
Selain itu, desa ini juga menjadi satu-satunya desa
yang mampu memproduksi minyak tamanu dan dijual di pasar internasional. Minyak
tamanu adalah minyak hasil olahan buah tamanu atau buah nyamplung yang
dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik. Di pasar internasional, minyak ini dijual
dengan harga cukup mahal, yakni 12–14 dollar AS per 30 ml. Sedangkan, saat ini
Panggungharjo mampu memproduksi antara 200–400 liter per bulan dan dikirim ke
pasar internasional melalui jaringan kemitraan yang mereka bangun.
“Kami tidak memiliki bahan baku produksi, tapi kami
menjadi satu-satunya desa yang punya teknologi untuk memproses buah buah tamanu
agar siap digunakan dalam industri kosmetik. Buah didatangkan dari Cilacap,
Kebumen, Purworejo, Banyuwangi, Madura, Pulau Selayar dan daerah lainnya,”
ungkap Wahyudi.
Panggungharjo juga memanfaatkan bentang ekonomi
melalui pendirian gerai produk desa yang diberi nama Swadesa. Gerai ini menjadi
jembatan bagi warga desa dan UKM agar bisa berjualan on-line meskipun buta
internet. Produk yang dipasarkan merupakan hasil karya warga, mulai dari
kerajinan, hingga makanan dan minuman olahan tradisional.
Di sisi budaya, Panggungharjo memiliki satu jasa
wisata desa yang dinamai Kampung Mataraman. Kampung Mataraman dibuat agar para
wisatawan dapat menikmati suasana kampung di Jawa pada awal abad ke-19, yang
menonjolkan tiga aspek, yaitu aspek sandang, pangan, dan papan. Dari
pemanfaatan bentang budaya itu, pendapatan pada 10 bulan pertama tahun 2019
lalu sudah mencapai angka sekitar Rp 5,6 miliar.
Dinikmati warga
Dari berbagai inovasi itu, kehidupan warga
Panggungharjo pun kian sejahtera. Desa ini juga menjadi desa pertama yang
mengembangkan program perlindungan sosial secara mandiri, jauh sebelum Presiden
Joko Widodo mengeluarkan Kartu Indonesia Sehat.
“Sejak 2013 kami telah mengembangkan satu program
perlindungan sosial untuk memberikan perlindungan kepada warga masyarakat yang
mengalami kerentanan baik dalam bidang Kesehatan, pendidikan atau ketahanan
pangan melalui beberapa skema,” ujar pria yang pada November lalu diundang ke
Myanmar untuk menerima Apresiasi Asian Leadership Award, sebuah Apresiasi dari
masyarakat Asia yang diberikan kepada pemimpin-pemimpin di kawasan Asia.
Panggungharjo menjadi satu-satunya pemerintah tingkat desa yang menerima
penghargaan.
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat,
pemerintah desa bekerja sama dengan salah satu rumah sakit di Kabupaten Bantul.
Layanan yang diberikan berupa pemeriksaan maupun pengobatan gratis.
Panggungharjo juga telah memiliki layanan home care yang dilakukan oleh perawat
desa. Perawat desa diberi tugas mengasuh para lansia dan memastikan penduduk
kebergantungan mendapatkan hunian mendapatkan hunian yang layak, memperoleh
asupan pangan cukup, serta berada dalam kondisi kesehatan yang termonitor.
“Mulai tahun 2019 kami tambah layanan berupa pemberian
asupan pangan. Setiap pukul 11.00 dan pukul 16.00, para lansia dan
kebergantungan senantiasa kami berikan makanan untuk makan siang dan makan
malam mereka selama setahun penuh,” ujar Wahyudi.
Masih di bidang kesehatan, seorang ibu hamil di
Panggungharjo berhak mendapatkan layanan paripurna berupa tujuh kali pemeriksaan
kehamilan dan satu persalinan normal, dua kali pemeriksaan dan lima imunisasi
lengkap untuk si bayi secara gratis di rumah bersalin di Panggungharjo.
Dalam bidang pendidikan, Panggungharjo memiliki
program Satu Rumah Satu Sarjana. Wahyudi yakin, satu-satunya cara memutuskan
rantai kemiskinanan adalah melalui pendidikan. Karena itu, Panggungharjo
memberikan dukungan kepada warga desa untuk bisa mengakses pendidikan
setinggi-tingginya melalui beberapa skema. Ada dalam bentuk asuransi
pendidikan, beasiswa pendidikan, bantuan pendidikan tunai maupun kerja sama
dengan beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di Yogyakarta
sebagai fasilitator anak-anak agar bisa masuk kuliah secara gratis hingga
lulus.
Transparansi
Berbagai keberhasilan itu tak lepas dari keberhasilan
Panggungharjo membangun tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Sistem informasi publik Desa Panggungharjo hingga saat ini termasuk yang
terbaik di Indonesia dan selalu terbarui. Terbaik karena untuk pemenuhan hak
publik atas keterbukaan informasi, sistem yang dibangun sekaligus untuk
menentukan arah kebijakan pembangunan desa. Panggungharjo mengembangkan sistem
perencanaan berbasis data spasial, yang setidaknya mengelola ada lima metadata.
Pertama, data kependudukan yang dikelola melalui layanan administrasi di ruang
pelayanan. Data itu terhubung secara langsung dengan data kependudukan yang
dikelola di kabupaten. Alhasil, setiap ada perubahan data kependudukan baik
kelahiran, mutasi. Hal itu berguna sebagai acuan basis perencanaan di desa.
Kedua, data biofisik yang mengelola data infrastruktur
lingkungan permukiman. Dengan data itu masyarakat tahu kualitas infrastruktur,
seperti panjang jalan dan kondisinya, lokasi infrastruktur yang rusak,
rumah-rumah penduduk yang tidak layak huni, bahkan hingga kepemilikan jamban
pada tiap rumah pun bisa diketahui. Ketiga adalah data sosial yang memuat
sebaran penduduk berdasarkan tingkat kesejahteraan, termasuk data tentang
penyandang masalah kesejahteraan sosial.
“Jadi, desa tahu, berapa lansia dengan berbagai
ketergantungannya, siapa, di mana, bagaimana profilnya. Data ibu hamil risiko
tinggi, penyandang disabilitas, pemuda putus sekolah, dan perempuan kepala
keluarga bisa diketahui,” urai Wahyudi.
Keempat, data ekonomi, yakni menyangkut sumber
penghidupan ekonomi warga desa, termasuk data UMKM dan sebarannya. Keempat
metadata itu kemudian dikompilasikan dengan data keuangan melalui sistem
aplikasi keuangan desa. Dari sana proses perencanaan dibangun, dan
dikonsultasikan dalam forum-forum musyawarah desa ataupun musyawarah
perencanaan pembangunan desa.
Kini, Wahyudi telah menjalani periode kedua
kepemimpinannya. Ia punya mimpi besar, tahun 2024 nanti 100 persen warga Desa
Panggungharjo sejahtera.
“Ukuran kesejahteraan ada empat, yaitu setiap keluarga
harus memiliki tabungan, setiap warga mempunyai jaminan hari tua, setiap
keluarga mempunyai jaminan kesehatan, serta indeks kebahagiaannya meningkat,”
ujarnya.
Andai saja seluruh desa di Indonesia bisa mengikuti
jejak Panggungharjo, barangkali kemiskinan di Indonesia lambat laun akan
terkikis habis.
W Hanjarwadi. Editor, IT
Development Majalah Pajak.
Sumber: majalahpajak.net
Tidak ada komentar:
Salam Semua, Saya Cinta