Secerdik La Mellong


Desa ini bernama Pakkasalo, entah sejak kapan dinamai demikian. Ketika aku lahir di akhir tahun 1970an, desa ini sudah bernama demikian. Tapi mengenai mengapa disebut demikian, setiap warga desa hampir pasti bisa mejelaskannya. Tepat di tengah desa ini, dua arus sungai bertemu, lalu airnya bersepakat untuk bersatu dan mengalir bersama ke laut. Ya, demikianlah, pakkasalo dalam bahasa kami –suku Bugis, berarti percabangan sungai.

Sungai yang hingga kini tidak kuketahui namanya itu, alurnya searah dengan jalan utama desa. Dari arah ibu kota kecamatan, jalan ke desaku memanjang dari arah barat ke timur. Tepat di ibu kota desa, di dusun Benteng, jalan utama itu berbelok ke arah utara, sebelum akhirnya bercabang. Satu cabangnya terus lurus ke arah utara, sementara cabang yang satu, berbelok ke arah timur.

Alur sungai itu pun demikian, memanjang dari barat ke timur, sepanjang sebelah selatan jalan. Sungai itu lalu ikut berbelok ke arah utara pun di dusun Benteng. Percabangan sungai –yang kemudian menjadi asal usul nama desaku, terjadi tepat sebelum percabangan jalan di utara, lalu akhirnya sungai mengikuti alur jalan ke arah timur. Jadi bila kita menyusuri jalan ke utara desa dari arah Benteng, sebelum percabangan jalan, kita akan melintasi sebuah jembatan.

Kembali ke nama desa, bukan hanya desaku yang namanya berasal dari kondisi geografis, desa sekitarnya pun demikian. Di sebelah selatan, tepat di seberang sungai, terdapat desa yang berada di lereng bukit, namanya Mabbiring Pulu, bersisian dengan gunung artinya. Ke timur, melintasi dusun Benteng lalu menyeberangi jembatan gantung yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, kita akan bertemu desa Malluse Tasi’ yang secara harafiah berarti menidurkan laut, memang desa itu berbatasan langsung dengan laut.

Pada percabangan jalan di ujung utara desa, jalan yang terus ke utara mengarahkan ke kecamatan tetangga, sementara yang ke timur, mengantar kita ke desa Pattiro Sompe’, pemantau layar. Sebabnya, bila kita terus ke timur, maka jalan akan berujung di laut tempat nelayan melayarkan perahu. Penamaan ini juga berkaitan dengan desa di sebelah barat desaku, desa Pattiro Bajo namanya, kata yang bermakna pemantau bayang–bayang.

Bagi penduduk di desaku dan desa sekitarnya, penamaan desa–desa ini menjadi penanda untuk mengira-ngira berapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk menjangkau laut. Bila kita baru tiba di Pattiro Bajo dari arah ibukota kabupaten, maka kita masih jauh dari laut, sebab kita baru bisa memantau bayang–bayang layar dan perahunya, namun bila sudah sampai ke Pattiro Sompe’, maka kita sudah dekat dengan laut, sebab layar perahu nelayan sudah kelihatan.

Membayangkan sungai yang berkelok dan bercabang dengan air yang selalu mengalir ke laut, kadang arusnya deras, kadang pula hanya serupa gemericik, mengingatkanku pada sepenggal kalimat dalam sebuah novel yang kubaca di perpustakaan sekolah. Ibarat sungai yang selalu mengalir, demikian pula dengan hidup yang tak pernah terulang, hanya berlalu dan terus berlalu, tak mungkin kita kembali ke masa lalu sebagaimana air sungai yang selalu bergerak ke muara.

Kita terlahir, menjalani masa kanak-kanan, lalu menjadi remaja, menjelma dewasa, dan berakhir di masa tua. Demikianlah siklus kehidupan yang dicerminkan oleh sungai. Masalah–masalah dalam hidup, mungkin ibarat kelok liku yang dimiliki oleh aliran sungai, dan berbagai percabangan dan persilangan sungai adalah perjumpaan–perjumpaan dan persimpangan jalan hidup seseorang dengan sesama manusia. Sungai betul–betul menjadi pelajaran berharga dalam hidup, beruntunglah kami yang hidup dalam rangkulan sungai.

*     *     *

Kembali ke sungai di desaku, saban hari sungai ini menjadi pusat aktivitas kami, anak–anak. Di sungai itulah kami menghabiskan waktu sepulang sekolah atau di hari libur. Bila musim tanam atau musim panen padi di sawah, maka kami hanya akan menyambangi sungai untuk mandi sepulang dari sawah, tapi bila musim kemarau, maka kami akan lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Biasanya kami berburu urang —udang air tawar yang berkepala dan bercapit besar, kalaefa –sejenis rajungan yang berbentuk persegi, atau mencari tudekerang air tawar yang gurih.

Selain kami para bocah, sungai ini juga menjadi tempat favorit beberapa orang dewasa yang bekerja sebagai buruh tani. Sebelum magrib, mereka akan mampir ke sungai memasang pancing di titik–titik tertentu. Pancing itu akan mereka cek hasilnya setelah subuh. Pancing itu hampir tak pernah kosong, bila bukan menggaet ikan sepat besar atau ikan Gabus, ya ikan lele. Paling beruntung bila pancingnya termakan ikan Sidat, atau kami menyebutnya Massapi.

Perihal Massapi ini, juga punya kisahnya sendiri. Kebanyakan warga di desa kami menyakini bahwa ikan ini hanya boleh dikonsumsi oleh keluarga tertentu secara turun temurun. Bagi keluarga yang kakek neneknya tak pernah mengkonsumsi ikan ini, pantang bagi anak cucunya untuk mencoba. Bila pantangan ini dilanggar, mereka akan terkena sapa, gatal–gatal di kulit semacam kena sampar. Menariknya, entah karena alasan apa, keluargaku termasuk dalam sedikit keluarga yang mendapatkan hal istimewa mengkonsumsi ikan itu.

Seperti pagi ini, ayahku yang sedang mandi di sumur, ditemui oleh seorang kawan sekolahku, Baharuddin namanya. Baha’, demikian kami menyapanya, menenteng seekor Massapi sebesar lenganku, anak kelas dua sekolah dasar.

     “Saya dapat Massapi, Puang.” Seru Baha’ riang, sambil menunjukkan ikan yang serupa belut itu tergantung di ujung pancingnya.

     “Wah, sepertinya akan nikmat itu, besar sekali.” Timpal ayahku.

     “Kamu bawa ke rumah ya, serahkan ke Puang Ngati-mu.” Lanjut ayah, menyuruh Baha’ ke rumah menemui ibuku.

     “Ayah, aku ikut pulang bersama Baha’ ya.” Timpalku.

     “Baiklah, sekalian sampaikan ke ibumu, untuk memberi uang ke Baha’ sebagai harga Massapi-nya.” Perintah ayah.

Ayahku memang paling gampang ditemui di sumur itu, sumur yang menyediaakan air bersih bagi banyak keluarga di sekitarnya. Tiap pagi saat mentari belum menampakkan diri, ayahku sudah ada di sana, mandi dan mengambil air bersih. Ayahku seorang guru, mengajar di sebuah madrasah di ibu kota kabupaten, jaraknya tujuh belas kilo dari desaku. jarak itu ditempuhnya tiap pagi dan sore dengan bantuan pete’–pete’, angkot yang tidak seberapa jumlahnya.

Sepulang dari mengajar, biasanya ayahku menyempatkan diri ke sawah. Selain mengajar, untuk memenuhi kebutuhkan keluarga, ayahku juga bertani seperti warga desa pada umumnya, meski cuma mengerjakan sepetak sawah kecil sahaja. Sesekali aku ikut ayah ke sawah, terutama bila musim tanam tiba, keceriaan yang akan aku ceritakan nanti bila ada waktu. Terkadang, sepulang dari sawah, aku menyempatkan diri berlari ke sungai untuk sekadar mandi, air sungai menjadi lebih hangat bila sudah menjelang magrib.

Pernah juga aku dihukum oleh ayah karena terlambat pulang dari sungai. Aku baru menjejakkan kaki di anak tangga saat sore sudah berlalu, rembang petang telah pun lewat. Saat mandi di sungai tadi, aku lupa bila sudah punya kesepakatan dengan ayah untuk tidak terlambat salat magrib berjamaah. Karena ajakan Hasan dan teman yang lain, aku terus saja bermain petak umpet di air sampai hari betul–betul gelap. Maka dengan ikhlas kurelakan kedua betisku menerima cumbuan belebas kayu dari ayah.

Soal hukuman itu, aku tak pernah menyoalnya, sebab aku tahu ayah tak pernah benar–benar marah padaku, atau ke adik–adikku. Ayah memang agak ketat untuk urusan salat, apalagi ayah yang guru madrasah, juga berindak sebagai naib bila imam tak hadir salat di masjid, atau khatib tak datang untuk berkhutbah di hari jumat. Tentu tak elok juga, bila ayah sering memandu orang lain dalam urusan agama, sementara kam, anak–anaknya, justru tak peduli.

Meski berkali–kali diperingati, bahkan mendapat hukuman dari ayah, tetap saja tak menyurutkan kebiasaanku bermain di sungai bersama teman–teman. Kesenangan apalagi yang kami cari kecuali dengan menikmati anugerah Tuhan berupa sungai yang airnya mengalir jernih sepanjang tahun –kecuali bila banjir menerjang dari hulu, dan dihidupi dengan ikan, udang, serta berbagai jenis tude. Sementara ibu, hanya sesekali mengingatkan agar aku menghindari beberapa titik di sungai itu, desas–desus menyebutnya sebagai kawasan yang dihuni buaya muara.

Soal buaya di sungai, intinya cuma satu menurut Uwak Bandu –peladang yang saban hari berendam di sungai saat pagi dan petang,

     “Jangan pernah kau bilang buaya, bilang saja Tau ri Salo.” Terangnya suatu sore.

     “Mengapa bisa begitu,Uwak?” Sergah si Husain, kawanku juga, saudara kembar dari si Hasan. Setahunya, juga kami, Tau ri Salo bermakna manusia sungai.

     “Sebab sesungguhnya, antara buaya dan manusia itu bersaudara, tentu kalian pernah melihat atau mendengar manusia melahirkan anak kembar yang salah satu anaknya adalah buaya, kan?”

     “Lalu mengapa Uwak berani menyebutnya?” Temanku Arif, yang biasa kami sapa Ife’ menimpali.

     “Sebab saya sudah kenal dengan mereka, bahkan buaya yang tinggal di lubuk sebelah sana, adalah saudara kembarku, hehehe…” Uwak Bandu berlalu sambil terkekeh. Sementara aku, Hasan, Husain, Ife’, dan Pandu bergidik sambil menatap ke arah lubuk yang ditunjuk oleh Uwak Bandu. Konon di bawah pohon beringin itu, di bagian sungai yang cukup dalam dan tenang, sering muncul buaya berenang di sana. Tapi selain itu, di lubuk itu pulalah, Baha’ sering memasang pancingnya di sore hari, dan mendapatkan tangkapan Massapi besar di pagi hari.

*     *     *

            Seperti malam–malam sebelumnya, menjelang tidur, ayah akan berbagi cerita dengan kami. Bermacam perihal kami bahas, kadang berupa fabel, atau kisah–kisah teladan dari masa lalu. Tak jarang juga cerita dari tokoh–tokoh lokal yang mempunyai kemiripan dengan Abu Nawas di Arab sana, atau Lebai Malang di tanah Jawa. Malam ini, selepas kisah dari ayah, aku meredupkan mata sambil berharap bisa menjadi secerdik La Mellong, penasihat Raja Bone yang masyhur itu.

            Suatu waktu, La Mellong memimpin misi diplomatik ke kerajaan Soppeng, yang terikat perjanjian persaudaraan dengan Bone dan Wajo. Sebelum memulai pembicaraan, rombongan La Mellong disambut di istana Datu Soppeng dengan jamuan kerajaan yang mewah. Tapi yang membuat suasana menjadi sedikit tegang adalah tindakan La Mellong seusai bersantap, semua peralatan makan berupa piring porselin serta gelas kaca, dia lemparkan ke luar melalui jendela, sehingga seluruh perabot itu hancur berkeping–keping. Aksi itu diikuti oleh seluruh rombongannya.

     “Puang, apa yang anda lakukan?” Protes seorang petinggi kerajaan Soppeng, La Sattu namanya.

     “Mau bagaimana lagi? Demikianlah adat kebiasaan kami di Bone setelah makan, hehehe…” Jawabnya terkekeh, sambil membersihkan sisa makanan di mulutnya dengan tusuk gigi. Mendengar jawaban La Mellong, para petinggi kerajaan Soppeng berpikir betapa makmurnya kerajaan Bone yang hanya menggunakan perabot makannya sekali pakai.

            Ternyata, gertakan La Mellong membuahkan hasil, proses perundingan berjalan lancar tanpa halangan yang berarti dari kerajaan Soppeng. Meski begitu, La Sattu merasa bahwa perbuatan La Mellong harus dibalas.

     “Jadi kapan kami bisa berkunjung melihat–lihat kebesaran saudara kami di Bone?” Pancing La Sattu.

     “Jangan khawatir, datanglah bulan depan, kami akan mempersiapkan jamuan besar untuk saudara kami dari Soppeng.” Jawab La Mellong sekenanya. La Sattu tersenyum simpul dan membatin melihat kesempatan emas untuk membalas perbuatan La Mellong.

            Maka ketika berkunjung ke Bone, rombongan kerajaan Soppeng yang dipimpin oleh La Sattu juga dijamu di istana Raja Bone. Tapi begitu memasuki ruang makan, wajah La Sattu menjadi kucam, impiannya untuk membalas perlakukan La Mellong dengan melempar semua peralatan makan ke pelataran istana seusai jamuan, pudar sudah. Rupanya, La Mellong sudah mengetahui niat La Sattu untuk membalas perbuatannya, sehingga seluruh peralatan makan dalam jamuan itu, dia ganti. Piring porselin dia ganti dengan daun pisang, sementara gelas kaca dia tukar dengan potongan bambu.

            Seusai menyimak kisahnya, dalam mimpi aku melihat La Mellong melempar daun pisang dan potongan bambu bekas minumnya ke pelataran istana, sambil tersenyum penuh arti ke arah La Sattu. Tapi kupikir, apa yang dilakukan oleh La Mellong bukanlah sekadar keusilan semata, tindakannya adalah wujud dari kecerdasanya sebagai orang bijak kerajaan. Aku ingin menjadi secerdik La Mellong.

Secerdik La Mellong Secerdik La Mellong Reviewed by adminisme on 20.16 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Salam Semua, Saya Cinta

Diberdayakan oleh Blogger.